Sabtu, 05 September 2020

Interaksi, Variasi dan Harmoni

Interaksi, Variasi dan Harmoni[1][2][3]

(Hal-40) Kalau kita sepakat bahwa masalah utama komunikasi ada pada makna, maka akar persoalannya ada pada interaksi. Karena, makna selalu lahir dari interaksi, dalam konteks komunikasi apapun, baik komunikasi massa, interpersonal ataupun kelompok. Ruang makna kita ditentukan oleh dengan siapa kita berbicara, media apa yang kita konsumsi atau dalam kelompok mana kita bergaul.



Dalam komunikasi interpersonal misalnya, selalu ada korelasi antara apa yang kita rasakan dengan siapa yang menjadi teman bicara kita. Ada teman yang selalu menjadi variabel pengaruh. Begitu pula komunikasi massa, media selalu berkontribusi dalam pilihan tindakan kita.

Jika komunikasi adalah proses yang terus-menerus, maka sejatinya kita beralih dari satu bentuk komunikasi ke bentuk lainnya. Ada saat berbincang secara personal dengan orang lain. Ada waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan, juga ada kesempatan untuk menyimak informasi dan hiburan dari media massa. Jika ini semua terjadi secara proporsional, maka akan muncul keseimbangan. Karena masing-masing konteks komunikasi menyediakan kebutuhan yang berbeda.

Komunikasi interpersonal mengafirmasi kebutuhan psikologis individu: perhatian, kesungguhan, kedekatan, dan empati. Inilah jenis komunikasi yang paling sering dan tentu saja, paling awal dilakukan dalam sejarah pertumbuhan manusia. Komunikasi kelompok muncul seiring bertambahnya jumlah manusia. Mulailah muncul kebutuhan bahwa pesan ada pesan yang harus disampaikan pada beberapa orang sekaligus. Kebutuhan yang menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Perubahan yang paling drastis terjadi ketika teknologi elektronik memfasilitasi arus informasi. Telekomunikasi menjadikan kebutuhan bertemu secara fisik tak lagi relevan. Dari sinilah fase impersonalitas dalam komunikasi di (Hal-41) mulai. Bahkan di perkampungan, suasana sore, ketika orang saling bercengkrama di bawah pohon waru, semakian sulit ditemukan. Indahnya bulan purnama tidak lagi memikat anak-anak untuk bermain petak umpet di luar rumah. Mereka sudah merasa cukup terhibur dengan berbagai perangkat hiburan di dalam rumah.

Ketidakseimbangan interaksi mulai terjadi. Komunikasi interpersonal nampak semakin mewah karena kian jarang di lakukan. Bagi orang yang merasa sibuk, pertemuan fisik secara langsung dianggap buang-buang waktu, meskipun mereka tak merasakan hal yang sama ketika berjam-jam bertukar informasi di dunia maya. Bagi anak-anak dan remaja, tak hanya televisi yang menyandera, bahkan beraneka videogame pun menguras waktu dan energi mereka. Bukannya berinteraksi dengan manusia sungguhan, mereka justru menguras tenaga untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh rekaan (virtual) di dunia permainan.

Itu belum termasuk dunia online yang kian memikat dengan daya jangkau (konektifitas) dan kemampuan konvergensinya. Kecepatan dan kepraktisan semakin masuk akal untuk menggantikan kedekatan dan kehangatan. Ditambah biaya akses yang semakin murah, lengkap sudahlah komunikasi virtual saat ini.

Inilah saatnya kita menata ulang ruang interaksi kita. Karena, sekali lagi, interaksi akan menentukan bagaimana pemaknaan kita. Jika kita mengeluh dengan isi televisi yang semakin jauh dari semangat edukasi, kenapa kita tidak mengurangi dominasinya? Jika kita khawatir pengaruh buruk teman pada anak-anak kita, kenapa kita tidak risau dengan dampak negatif televisi yang telah menjadi teman akrab anak-anak kita? Jika konten kekerasan dalam video game kian mengkhawatirkan, kenapa kita tidak pernah menyeleksi isi permainan si buah hati?

Saatnya kearifan bermedia kita tradisikan. Tempatkan semua pada proporsinya. Perlu variasi ragam komunikasi. Di keluarga, sediakan selalu waktu berkomunikasi secara personal, dengan anak, saudara, suami atau istri. Arahkan anak untuk beraktifitas konstruktif, sehingga perhatiannya tak melulu tertuju pada televisi. Ruang-ruang publik, meski sebagian semakin tidak representatif dan kurang atraktif, bisa dimanfaatkan. Aktifitas luar ruang yang terkontrol tak hanya menyehatkan secara fisik, tetapi juga secara sosial bagi mereka.

Di bulan puasa, ini akan menjadi tantangan tersendiri. Dengan alasan berhemat energi, terutama anak-anak dan remaja menghabiskan waktunya di depan televisi. Padahal, selain tak serta merta Islami, isi televisi juga selalu membawa jebakan adiksi. Sinetron yang bersambung-sambung itu, bahkan hingga usai lebaran, sering membuat orang ketagihan. Jangan heran jika anak-anak nanti  malas bersilaturrahmi, karena tidak ingin ketinggalan cerita di layar kaca.

Dengan semangat membersihkan diri, semoga Ramadhan juga menjadi momen untuk menyehatkan interaksi kita, pada siapa dan apapun, termasuk dengan media. Sehingga, dihari fitri nanti, kita juga akan mendapatkan harmoni.



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 235 Th.12, Ramadhan-Syawal 1431H, 23 September 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar